AMPLOP BIRU

Rieke yang akrab dipanggil Rie berjalan  ke sekolahnya dengan santai seakan tanpa beban, padahal di sekolahnya bel masuk sudah berbunyi semenit yang lalu. Rie seperti tidak mengenal jera sudah berkali-kali dihukum berdiri sambil hormat di bawah tiang bendera selama satu jam pelajaran..

Dengan sekujur tubuhnya yang penuh keringat Rie duduk di bangkunya. Tak lama berselang sebuah surat kaleng yang dilemparkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab mendarat tepat dihadapannya.

“ BELAGU BANGET SICH, SENANG YA BERJEMUR TIAP HARI? ELO ITU UDAH ITEM TAU!” Rie membaca tulisan pada surat itu tanpa memperlihatkan ekspresi marah.

Dengan santai Rie menggulung kertas itu kembali, kemudian membuangnya dengan gaya yang masih terlihat tenang. Dengan sikap tenang dan tanpa ekspresi Rie mengikuti pelajaran sejarah yang masih berlangsung hingga jam istirahat.

Waktu istirahat ia habiskan dengan membaca buku. Entah mengapa Rie selalu sendiri di sekolah. Mungkin  karena sikapnya yang dingin nggak suka bicara membuat murid yang lain enggan berteman dengannya. Bisa dibilang tak ada murid yang peduli dengan dia ada atau tidak. Seperti biasa sebelum membaca buku yang kali ini karangan Arifin Muftie, Rie menyumbat telinganya dengan earphone buat dengerin musik dari mp4nya.  Di lain pihak tidak ada penghuni di kelas Rie yang tahu kalau ternyata diam-diam ada seseorang di antara mereka yang selalu memerhatikan Rie.

***

Secara tidak sengaja sebuah amplop bewarna biru terjatuh saat Rie melempar tas sekolahnya di atas tempat tidur. Ini sudah ke lima kalinya Rie mendapat amplop bewarna biru yang berisikan tulisan-tulisan yang Rie tidak mengerti maksudnya. Orang-orang menyebutnya puisi. Kali ini tanpa membuka amplop itu  Rie langsung menaruhnya di tempat amplop bewarna biru terdahulu tersimpan dengan baik. Tak ada keinginan Rie untuk mencari tahu dari mana dan dari siapa amplop berwarna biru itu berasal.

***

“ Loe semua pada tahu nggak? Ternyata Dean itu pintar nulis puisi lho” ungkap sarah memulai pembicaraan saat bel istirahat berbunyi.

“Kemaren gue lihat puisi karangannya di mading, sumpah deh keren banget!” lanjut sarah. Ungkapan sarah membuat Rie yang duduk di depannya teringat akan amplop biru yang selalu diterimanya.

“ Duh yang lagi jatuh cinta…”  zhie menggoda sarah yang wajah putihnya terlihat sedikit kemerahan.

Tiba-tiba obrolan Sarah Cs terhenti karena melihat Dean akan segera keluar dari kelas, tanpa sadar Rie terus melihat ke arah Dean. Sadar dirinya menjadi pusat perhatian Dean melempar senyumnya ke arah Rie. Tanpa ekspresi Rie yang menerima senyum dari Dean mengalihkan pandangannya ke buku yang dibacanya sejak tadi dengan tenang dan sedikit santai. Dean sedikit tertawa melihat tingkah Rie yang menurutnya sedikit unik.

Tentu saja kejadian itu membuat sarah kesal, karena sudah sejak lama sarah ngefans dengan Dean.

***

Bel berbunyi dua kali pertanda waktu istirahat telah berakhir. Satu persatu para siswa memasuki kelas. Bu Ratna yang biasanya suka telat entah mengapa siang ini bisa on time.

“ Aditya, kumpulkan tugas kemaren!” perintah bu Ratna begitu tiba di depan kelas. Aditya yang duduk di sebelah mejanya Rie segera berdiri siap ngelaksanain perintah yang diamanatkan kepadanya.

Sebuah amplop biru yang entah sejak kapan diletakkan terjatuh dari dalam tasnya Rie saat hendak mengambil tugas bahasa Indonesia yang baru aja dikerjakannya semalam.

Belum sempat Rie mengambilnya amplop itu udah keburu diambil sama Sarah.

“ Terima kasih udah diambilin.” Rie meminta amplop biru kepunyaannya.

“ Siapa bilang gue mau ngembaliin surat loe!” jawaban Sarah membuat Rie sedikit kesal.

“Kemariin surat gue atau…”.

“Atau apa? Geish…” potong Sarah sambil ngebaca isi surat tersebut.

“BRRUUK”

Dengan satu kaki Rie sarah berdiri di depan kelas, sedangkan Sarah harus menahan sakit pada hidung mancungnnya yang berdarah. Semantara bu Ratna melanjutkan pelajaran yang sempat terhenti.

***

Cape deh berdiri. Makanya loe jangan macam-macam” ledek Zhie saat pelajaran berakhir. “ Kembaliin surat gue!” walau Rie tak begitu peduli dengan isi surat itu, tapi Rie ngerasa ampolop berwarna biru yang berisikan surat itu adalah sahabatnya tanpa peduli apa isinya dan siapa pengirimnya.

“ Loe mau nonjok kita lagi?” Zhie tak kalah garang dari Rie

“ Loe nggak apa-apakan?” tiba-tiba Dean nyamperin Sarah. Terang aja Sarah jadi berbunga-bunga. “ ng..gue nggak pa pa kok”

Rie yang ngerasa telah membuang waktunya buat ngeladenin orang-orang yang nggak berguna segera merampas surat miliknya dari tangan Sarah yang lengah kemudian segera pergi.

Namun langkah Rie terhenti karena Dean menarik tangannya. “ Gue nggak nyangka ya, elo sejahat itu. Gara-gara selembar kertas itu loe tega nyakiti teman loe sendiri.”

Tanpa memperdulikan perkataan Dean, Rie melepaskan tangannya dari cengkraman Dean kemudian pergi.

Ternyata siang itu Rie tidak langsung pulang ke rumah. Dia malah pergi ke tepi danau kecil yang tak jauh dari rumahnya. Biasanya siang hari tak banyak orang yang mengunjungi danau itu. Entah mengapa perkataan Dean seakan telah menusuk jantungnya yang belum sembuh oleh luka lama. Tanpa sadar Rie menangis, Rie nggak ingat kapan terakhir kalinya Ia menangis, mungkin saat ibunya pergi meninggalkannya  enam tahun yang lalu ketika dirinya masih terlalu rapuh. Sekuat apapun ia menangis waktu itu ibunya tetap pergi menjauh dan tak pernah kembali.

“ Saat menangis kamu jadi sedikit berbeda.” Tiba-tiba Aditya yang akrab dipanggil Adit telah duduk di sebelah Rie. “ Aku nggak ada tissue, sapu tangan juga enggak. Kamu pake baju aku aja deh kalo gitu.” Adit yang suka mengenakan kaos oblong sebagai baju dalam memberikan seragam SMAnya kepada Rie. Dengan matanya yang masih basah Rie melihat ke arah Adit. Terang aja Adit jadi salah tingkah melihat tatapan mata Rie yang tajam. “ ng… ya udah kalo kamu nggak mau”.

Adit menggeser duduknya agar lebih dekat dengan Rie. “ Dean brengsek, Sarah brengsek, semuanya memang brengsek.” Adit berteriak ke arah danau.

“ Bisa diam.” Pinta Rie datar

“ Aku hanya mau bantuin kamu teriak kok,”  elak Adit

“ Lagi nggak butuh bantuan”.

“ Begitu ya, sepertinya kamu ingin sendiri.”

Dengan senyumnya yang masih menempel di wajahnya Adit segera berdiri dan pergi. Tapi tetap aja Rie nggak peduli dengan kepergian Adit. Ia masih menatap lurus ke arah danau.

Tiba-tiba Rie melihat sebuah amplop berwarna biru di sebelahnya. Rie segera memeriksa isi tasnya mencari sebuah amplop biru yang ia rebut dari Sarah. Ternyata masih ada. Cukup lama Rie memandang amplop biru yang baru diletakkan itu sebelum akhirnya mengambilnya, dan kemudian membacanya.

Begitu banyak bintang bertebaran di langit
Menghibur jiwa yang kosong
Maha besar Sang Pencipta.
Tak banyak tulisan hati yang kuberikan padamu
Namun akan terlihat banyak jika kamu tak membacanya.
Seperti kamu tak ingin mendengar kenyataan
Meskipun ia memiliki arti,
Kamu tak Akan pernah tahu karena kamu tak pernah mendengarnya
Akhirnya kamu membaca goresan pinsilku
Walau yang terakhir
Aku bahagia.

By : Pikapiku

Medan,  Oktober 2008